Ekonomi melemah, defisit neraca migas

0
495
ilustrasi (pixabay)

JAKARTA, ChannelOne – Tulisan ini ChannelOne kutip langsung dari Bisnis Indonesia. Tulisan ini penting untuk dibaca oleh banyak kalangan, itu sebabnya ChannelOne berinisiasi merepost artikel ini. -Redaksi-

Defisit perdagangan menjadi sorotan utama Presiden dalam rapat terbatas di Bogor beberapa waktu lalu. Secara spesifik Presiden menegur kondisi defisit migas yang angkanya cukup fantastis, yakni US$3,7 miliar sepanjang Januari-Mei 2019. Defisit migas seperti kanker yang terus menggerogoti indikator ekonomi lainnya, seperti pelebaran defisit neraca transaksi berjalan, fluktuasi nilai tukar rupiah, hingga kesehatan belanja APBN. Melebarnya defisit migas jelas melemahkan struktur perekonomian. Kanker stadium 4 ini wajar membuat Presiden murka.

Tanpa tendeng aling-aling, Presiden Jokowi menyebut nama-nama Menteri yang dianggap belum berhasil selesaikan masalah yang membelit neraca migas. Tapi cukupkah saling tunjuk hidung di antara punggawa kabinet, tanpa merumuskan solusi jangka panjang? Tidak ada obat jangka pendek dalam urusan menyelesaikan defisit migas. Merubah defisit menjadi surplus tentu tidak mungkin dalam 5 tahun kedepan, tapi menekan pelebaran defisit migas masih mungkin untuk dilakukan. Langkah awal adalah diagnosis ulang untuk melihat akar permasalahan defisit migas ini.

Tertekan Penugasan

Sebelum menyalahkan produksi atau lifting minyak yang terus meleset dari target APBN, ada baiknya Pemerintah memeriksa Pertamina. Faktanya Pertamina sedang tidak baik-baik saja. Sebagai BUMN yang diandalkan untuk mendorong produksi migas di tanah air, sekaligus ditunjuk untuk menyalurkan subsidi BBM, tentu bukan tugas yang mudah dan murah.

Bagaimana Pertamina mau mencari ladang minyak baru atau eksplorasi, jika kondisi keuangan tertekan? Penugasan-penugasan ke Pertamina dirasa amat berat. Kebijakan melimpahkan subsidi BBM secara tidak langsung ke Pertamina terbukti menggerus arus kas perseroan dalam 5 tahun terakhir. Syukur Pemerintah mengucurkan dana US$2,98 miliar sebagai ganti penugasan tahun 2017. Pertamina selamat dengan laba naik fantastis 57,6% di 2018.

Sayangnya aturan pembayaran penugasan ini melalui APBN baru ada setelah Perpes No.43 tahun 2018 lahir. Sebelum adanya Perpres 43, Pertamina mengalami tekanan keuangan yang cukup hebat. Imbasnya Pertamina tentu kurang nafsu untuk lakukan eksplorasi pencarian ladang minyak baru.

Efektivitas Insentif Migas

Selain kurang bergairahnya Pertamina, pemain migas swasta juga maju mundur ditengah kondisi makro ekonomi, fluktuasi harga minyak, serta politik yang kurang stabil. Kondisi yang kurang bergairah itu kemudian bersambut dengan kebijakan gross split. Pemaksaan gross split ditengah iklim investasi yang kurang kondusif menambah blunder bagi perkembangan sektor migas. Meskipun aturan gross split bagus bagi sisi penerimaan Pemerintah, namun perlu dikaji ulang penerapannya disaat kondisi bisnis migas kurang menggairahkan.

Polemik lain yang membuat investor di sektor migas menahan diri salah satunya berkaitan dengan insentif-insentif fiskal dan non-fiskal yang menarik diatas kertas, tapi dalam implementasi lemah. Pemerintah sebelumnya sudah jor-joran memberikan tax holiday hingga 20 tahun bagi investasi Rp30 triliun di sektor migas. Namun realisasinya terhambat ego sektoral antar kementerian dan pemerintah daerah. Koordinasi dan kerumitan insentif fiskal mulai membuat investor berubah pikiran. Disini masalah utamanya, orkestra di dalam kabinet Jokowi soal migas di periode I tidak kompak. Perlu perombakan total oknum-oknum yang menghambat jalannya insentif migas, bukan saja Menteri tapi jajaran dibawahnya.

Gas masih surplus

Selain soal lesunya investasi di sektor migas, Pemerintah seakan lupa bahwa gas masih surplus, berbeda dari minyak yang defisit. Menurut data Bank Indonesia neraca gas justru mencatatkan surplus yang masih besar yakni US$1,7 miliar pada triwulan I 2019, lebih tinggi dibandingkan posisi triwulan I 2018 yakni US$1,65 miliar. Artinya ada harapan jika produksi gas yang berlimpah, dioptimalkan untuk subtitusi BBM maka defisit migas akan berkurang. Memang sudah ada solusi dengan konversi minyak tanah ke LPG 3kg dan gas untuk angkutan kota di Jakarta, tapi upaya itu belum cukup.

Potensi pemakaian gas terbesar salah satunya adalah industri manufaktur. Industri yang beralih ke gas dari batu bara maupun solar justru kurang mendapatkan perhatian. Pemerintah sebenarnya sudah punya obat mujarab, janji menurunkan harga gas untuk industri dalam paket kebijakan. Faktanya, harga gas murah terbelit segudang persoalan klasik, rantai distribusi yang panjang, terlalu banyak trader dan infrastruktur yang belum efisien sehingga marjin gas menjadi lebar. Artinya, permasalahan utama memindahkan ketergantungan BBM ke gas ini ibarat proyek setengah hati.

Dengan kondisi gas yang surplus, dan alasan bahwa infrastruktur belum siap harusnya Pemerintah mulai berbenah. Seiring persiapan beroperasinya Blok Masela pada tahun 2027 mendatang, diperlukan investasi di sektor infrastruktur gas secara masif. Insentif harusnya juga diberikan kepada investor yang mau membangun infrastruktur gas ke industri. Blok Masela yang menjadi primadona cadangan gas skala besar, dengan estimasi produksi gas alam cair (LNG) mencapai 9,5 juta ton per tahun dan gas 150 mmscfd idealnya sebagian besar diserap untuk kepentingan dalam negeri. Setidaknya dalam 5 tahun, Presiden dan tim migas-nya punya waktu untuk mengurangi ketergantungan BBM dengan konversi ke gas.

Dana Abadi Migas

Sebagai langkah jangka panjang menghindari ketergantungan energi dari impor yang semakin besar, nampaknya perlu disiapkan juga mekanisme subsidi energi alternatif. Sebagai contoh Norwegia, negara yang memiliki cadangan minyak terbukti no.21 terbesar di dunia, 3 tingkat diatas Indonesia tetap khawatir akan ketergantungan pada energi fosil.

Pada bulan Maret lalu, Norwegia mencatat sejarah dengan keputusan parlemen bahwa dana abadi migas perlu di investasikan ke energi baru dan terbarukan (EBTKE). Alhasil dana abadi migas Norwegia mengeluarkan daftar 150 perusahaan minyak dan batubara yang akan di dijual sahamnya, senilai US$40 miliar. Keputusan berani ini menunjukkan pentingnya Negara memiliki dana abadi untuk menunjang keberlangsungan pasokan energi.

Dana abadi minyak didapatkan dengan memangkas kelebihan pendapatan migas ketika terjadi kenaikan harga minyak. Ketika dana terkumpul, manajer investasi akan menaruh dana ke portfolio jangka panjang yang menguntungkan. Total dana abadi minyak Norwegia tercatat berkisar US$1 triliun pada 2019, sebanyak dua pertiga dana abadi di investasikan ke saham, sisanya 30% ke surat utang dan 3% ke properti.

Ide dana abadi migas ini sempat muncul dan timbul tenggelam seiring RUU Migas yang belum menemui titik terang. Padahal ini menjadi sebuah solusi yang struktural bagi Pemerintah untuk menambah porsi bauran energi yang bersumber dari EBTKE. Dana abadi migas nantinya bisa diambil dari penerimaan migas Pemerintah yang disisihkan, dan Pemerintah perlu membuat sebuah BLU (Badan Layanan Umum) dibawah Kementerian Keuangan untuk mengatur dana abadi tersebut. Jika diasumsikan penerimaan migas sebesar Rp159,7 triliun dalam PNBP APBN-2019, porsi 10% atau Rp15,9 triliun dari dana tersebut masuk ke BLU dana abadi migas sudah cukup menjadi modal awal.

Tentu saja tanpa political will yang kuat di era kedua Pak Jokowi, defisit migas akan terus menjadi hantu dan melemahkan struktur perekonomian Indonesia. Jokowi jangan hanya marah-marah ke menteri yang bertanggung jawab, lebih dari itu. Investor dan pelaku usaha serta masyarakat menantikan langkah tegas, selain utamanya menantikan susunan tim Migas yang baru. (*)

Bima Yudhistira
Peneliti INDEF
Artikel ini telah terbit di Bisnis Indonesia 15 Juli 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here