Elit Dan Kekuasaan Di Sulsel

0
1155
google images

Bagaimana terbentuknya kelompok elit dan bagaimana cara etnis Bugis-Makassar mengelola dan mempertahankan kekuasaannya? Caldwell (2004) berpendapat bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam seperti sawah yang subur, membuat seorang penguasa bisa mengkonsolidasi kekuatannya. Baginya, ideology dan religi adalah factor sekunder dari terbentuknya sebuah kekuasaan yang dipegang oleh segelintir elit. Dia mencontohkan bahwa sejak dikuasainya daerah lembah sungai di kawasan itu oleh sekelompok bangsawan, maka terbentuklah unit-unit politik yang lebih besar. Sementara Thomas Gibson (2005;2007) menuliskan bahwa cara masyarakat masyarakat Makassar mempertahankan kekuasaannya adalah dengan mengaktifkan sebanyak mungkin pengetahuan simbolik yang dipercaya masyarakat. Lewat mitos dan ritual, para elit merelegitimasi dan memproduksi kekuasaan mereka. Mereka misalnya mengadakan ritual yang melibatkan banyak orang di mana leluhur pendiri kerajaan tertentu menjadi subjek sesembahan. Sehingga hal ini kembali menegaskan legitmasi kekuasaan para keturunannya di masa sekarang.

Pelras misalnya mengatakan bahwa para raja baru memeluk Islam setelah datang model yang lebih cocok bagi para raja. Secara spesifik Michael Gibson (2005;2007) mengatakan bahwa raja Tallo memeluk Islam menurut ajaran Ibnu Arabi yang salah satu doktrinnya adalah bahwa raja merupakan wakil tuhan di muka bumi. Ajaran ini telah dipegang oleh beberapa raja di nusantara karena menjamin kekuasaan politis, selain religious, raja-raja tersebut. Namun sambung Gibson (2007), teori lain tentang perkembangan Islam di Sulawesi Selatan di kemukakan oleh William cummings (2001). Dia mengajukan argument bahwa di awal masuknya Islam pad abad ke 17 di Gowa-Tallo, yang terjadi adalah sebuah gerakan tekstual beraksara Arab. Lewat manipulasi teks menjadi benda keramat dan menjadi bahan ritual pembaca yang dikeramatkan, ‘Islam’ menjadi semacam ‘benda pusaka’ yang digunakan oleh para bangsawan istana untuk memperluas atau mengokohkan kekuasaannya.

Sedangkan model kekuasaan versi Eropa, tiba di Sulsel melalui VOC khususnya setelah perang Makassar pada paruh ke dua abad ke 17. Namun model kekuasaan ini baru benar-benar berefek dan diadopsi oleh masyarakat Sulawesi Selatan setelah sebagian besar kerajaan di kawasan ini ditaklukkan langsung oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1906. Sejak takluknya Gowa di than 1669, masyarakat di Sulawesi Selatan mulai terekspos jenis pemerintahan modern besutan VOC.

Ketika Sulawesi Selatan benar-benar berada di bawah kekuasaan langsung pemerintah kolonial, model kekuasaan tradisional dan Islam tidak hilang dengan sendirinya. Menurut Gibson (2005), mereka hidup berdampingan hingga sekarang. Dalam hal ini dia membantah tesis weber bahwa ketiga model relasi kekuasaan ini merupakan sebuah proses sejarah dengan model kekuasaan rasional-legal sebagai titik akhirnya.

Pola kekuasaan modern di Bugis Makassar di awali dengan hadirnya Muhammadiyah telah mempunyai 16 cabang di Sulawesi Selatan. Dan pada tahun 1941, ketika invasi jepang dimulai di nusantara, Muhammadiyah menyatakan telah mempunyai 7000 anggota dan 30.000 simpatisan di Sulawesi Selatan. Inilah organ Islam paling besar di Sulawesi Selatan pada masa itu. Kehadiran oraganisai Islam ini menurut Gibson (2005), relatif mempengaruhi perubahan peta kekuasaan di Sulsel. Ini dibuktikan dengan mulainya sejumlah orang biasa (bukan bangsawan) bisa mendapatkan posisi tertinggi secara politis maupun ekonomi. Namun peran ini menurut Millar (1989) belum terlalu kuat mengubah peta kukasaan di Sulsel, bahkan menurut temuannya, menjadi kurang relevan lahi, hingga nilai penting organisasinya pun menjadi surut.

Akhirnya Millar menyimpulkan bahwa, selama decade 1970-an, terjadi peralihan gagasan tentang status di wilayah Bugis. Sifat dan pencapaian pribadi sudah menjadi factor yang lebih penting dalam melihat kualitas seseorang ketimbang di masa sebelumnya. Karena kalangan non-bangsawan pada masa itu tidak kekurangan peluang untuk melakukan mobilisasi sosial, maka ketegangan dan persaingan memperebutkan pengaruh di antara tau matoa, lebih spesifik lagi, antara tau matoa bangsawan dan atau tau matoa orang kebanyakan, tetapi berlangsung sengit. (Millar 1989;66).

Study tentang struktur kekuasaan dan politik di Sulawesi Selatan juga dilakukan oleh Willem Ijzereef (1987); Susan Millar (1992). Untuk melihat hal ini, kita dapat menelusuri tentang struktur kekuasaan dan politik di kerajaan Bone di pertengahan abad ke 19 hingga pertengahan abad ke 20.

Kekuasaan politik pada era ini, bisa menjadi model yang menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan bekerja di Sulsel. Menurut Ijzereef, masyarakat Sulawesi Selatan adalah masayarakat yang sangat hierarkis, yang tersusu berdasarkan ‘kemurnian darah’ kebangsawanan. Hierarki ini tentu tidak berdiri sendiri berada dalam herarki yang lebih besar, hingga tingkat antar-kerajaan. Dengan demikian, kompetisi atau persaingan menuju puncak hierarki berlangsung terus menerus, dan hal ini tentu akan memancing konflik. Menurutnya, semakin berdekatan posisi dua pihak dalam suatu hierarki maka potensi konfliknya sangat besar. Dan semakin berjauhan posisi hierarkis dua pihak semakin kecil potensi konflik bisa terjadi.

Hal lain yang juga cukup penting dalam penelitian Susan Millar yang mengurai dan menggambarkan tentang konsep pelapisan sosial, dia secara spesifik mengurai konsep ‘lokasi sosial’ yang terpampang jelas ketika masyarakat Bugis mengadakan pesta pernikahan. Lokasi, tempat seseorang duduk secara fisik selama prosesi tertentu sebuah pernikahan, menunjukkan posisinya dalam hierarki sosial.

Formasi kekuasaan politik di Sulsel yang terjadi saat ini adalah cangkokan dari sejumlah model kekuasaan; tradisional, Islam, colonial, dan modern. Kekuasaan dengan model tradisional saat ini, di transformasikan melalui pengetahuan simbolik. Sedangkan kekuasaan Islam, di alirkan melalui komunitas-komunitas atau institusi-institusi Islam, yang kemudia melahirkan sejumlah wadah politik (lihat PAN, PKB, PPP, PKS, dll).

Kekuasaan colonial dalah kekuasaa yang pertama kali menawarkan sisitem rasionalitas dan efisiensi dalam kekuasaan. Rasionalitas diwujudkan dengan kemampuan elit untuk memiliki pengetahuan , skiil dan manajemen birokrasi.kekuasaan colonial kemudian ditransfer memasuki kekuasaan modern, yang menawarkan pola kekuasaan berdasarkan kecakapan public dan sentralisasi kekuasaan.

Kekuasaan politik yang bisa diperluas dan di pertahankan di Sulsel adalah kekuasaan politik elit yang bisa memadukan pola kekuasaan, tradisional, Islam, dan modern. Lihat misalnya elit-elit Sulsel seperti Rivai, A. Odang, Ahmad Amiruddin, Amin Syam, dan Syahrul Yasin Limpo, semuanya memiliki basis tradisional, Islam, dan modern. Akan tetapi, pengaruh model kekuasaan Islam dan modern di Sulsel jauh lebih menonjol ketimbang model kekuasaan tradisional. Meskipun kekusaan tradisional cenderung tumpang tindih dengan model kekuasaan Islam. Sementara itu, kekuasaan modern mengalirkan pola melalui banyak jalur, terutama jalur tentara, birokrasi, teknokrat dan kademisi. Pola ini berlangsung mulai dari orde lama hingga orde baru. Sejak Orde Baru mengalami krisis kepercayaan public, pola kekuasaan modern menjadi lebih terbuka, jalur utamanya adalah parpol, teknokrat, akademisi dan pengusaha. Tentara sejak orde reformasi mengalami penurunan peran untuk membentuk elit politik di Sulsel. ***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here