Produksi padi masih mahal, petani masih gunakan cara tradisional

0
570
Ilustrasi bantuan alsintan/solopos

JAKARTA, ChannelOne – Mengingat pentingnya masalah ini, ChannelOne melansir artikel dari Harian Nasional, dilaporkan bahwa Produksi padi di Indonesia dinilai masih mahal. Hal ini karena petani tradisional masih menggunakan cara tradisional dalam bercocok tanam hingga pemanenannya.

Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementerian Pertanian (Kementan) Gatut Sumbogodjati mengatakan, melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 57 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET), pemerintah menetapkan KET beras medium Rp 9 ribu dan beras premium Rp 12.800 untuk Pulau Jawa.

“Kementan berupaya meningkatkan efisiensi lewat mekanisasi berbagai alat pertanian tanaman pangan, khususnya padi dan palawija,” ujar Gatut kepada Pers di Jakarta, Minggu (14/Juli).

Menurut dia, pemerintah sejak 2012 telah memberikan bantuan alat mesin pertanian (alsintan). Mekanisasi ditingkatkan khususnya pascapanen dengan memberikan peralatan panen, mesin perontok (power thresher), alat pengering, mesin penggiling padi (rice milling unit/RMU).

Dia berharap pemberian berbagai unit alsintan dapat membantu petani menghasilkan produk berkualitas, meningkatkan efisensi, dan memiliki standar tinggi. “nantinya, harga yang diteria (petani) pun menjadi lebih baik,” katanya.

Mekanisasi kata dia, bertujuan mendorong kaum muda milenial untuk bekerja di sektor pertanian. Ke depan, Kementan menyiapkan aplikasi digital menarik untuk meningkatkan budi daya tanaman pangan, khususnya padi dan jagung.

Aplikasi menawarkan berbagai produk hasil tani untuk menyambungkan dengan pengusaha dan pasar lebih luas. “Kami berharap aplikasi mampu menarik minat kalangan milenial ke sektor pertanian Insya Allah Agustus kami akan meresmikan aplikasi e-commerce dan aplikasi harga tani,” ujarnya.

Pengamat pertanian Asosiasi Bank dan Benih Tani Indonesia (AP2TI) Dwi Andreas Santosa mengatakan, bantuan pemberian alsintan oleh pemerintah hanya berdampak positif terhadap daerah yang masih membutuhkan bantuan alat pertanian. Wilayah dengan kemapanan alat produksi yang tinggi tidak akan terdampak signifikan bantuan mekanisasi.

Pulau Jawa, kata dia, bantuan mekanisasi hanya berdampak kecil. Petani telah menggunakan mekanisasi pertanian ketika mengolah lahan dan panen. “Di Jawa dikenal dengan sistem operator yang menguasai luas wilayah. Mereka menyediakan jasa kepada petani berupa alsintan dan sebagainya,” ujarnya.
Bahkan, kata Andreas banyak bantuan alsintan tidak terpakai dan mangkrak. Kapasitas alat tidak cocok untuk luas sawah petani yang kecil.

Berdasarkan data AP2TI, lebih dari 50 persen alsintan hasil insentif pemerintah mangkrak dan tidak terpakai di tingkat petai. Ia menilai, pemerintah menyeragamkan pemberian bantuan kepada seluruh petani di seluruh daerah.

“Akibatnya jadi salah bantuan. Contohnya, sawah terasering yang diberi traktor kapasitas besar. Akhirnya tidak bisa naik ke terasering di atasnya,” ujarnya.

Ke depan, ia menyarankan pemerintah perlu mengajak petani untuk mendengarkan kebutuhan di sawah. Insentif pemerintah berupa bantuan alsintan dapat diganti dengan memberikan bantuan tunai langsung kepada petani. “Berdasarkan kajian, manfaat yang diterima petani meningkat 46 persen.”
(HN/U)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here